Sekelompok pria-pria dengan mimik yang lurus berjalan bersama sambil membawa potongan pohon bambu sekitar 3 sampai empat depa, diantara mereka ada yang bercanda, ada pula sesekali mereka terdiam, mungkin sudah terlalu lama mereka bersama.
Orang Pangandaran memanggilnya "Tukang Ngegoh", saya sendiri tidak tau asal kata itu, apakah dari bahasa sunda atau bahasa jawa. Maklum saja, di Pangandaran khususnya, dua bahasa itu sering campur menjadi satu. Tukang ngegoh akan bekerja seperti bersamaan dengan waktu yang dekat dengan matahari terbit dan tenggelam.
Baca Juga: Jalan Tanah di Pangandaran yang Hanya Tinggal Kisah
Saat matahari terbit, mereka menggotong perahu-perahu wisata yang ada ditepian pantai ke bibir pantai, setidaknya sampai ombak-ombak kecil mulai terasa, mungkin setinggi mata kaki. Saat matahari jelang terbenam, mereka mengangkat kembali perahu-perahu itu ke tepian, setelah perahu itu bekerja seharian.
Kalau tidak lewat punggung-punggung kuat itu, perahu yang telah bekerja seharian bisa jadi terbawa ketengah laut kembali seiring dengan naiknya air laut karena waktunya pasang.
Bagi pemilik perahu, Tukang Ngegoh adalah pahlawan yang berharap terus ada hingga waktu yang panjang kedepan, mereka sangat benar-benar dibutuhkan. Generasi tukang ngegoh di Pangandaran entah generasi keberapa, yang pasti, tidak sedikit dari mereka yang justru masuk usia senja. Pekerjaan ini memang pekerjaan yang berat dan butuh tenaga, kondisi fit harus terus dijaga supaya perahu-perahu bisa dirapihkan setiap harinya. Entah, masih adakah generasi mendatang di Pangandaran yang melihat ini sebagai pekerjaan? atau membiarkan bapa-bapa dan kakek mereka yang tetap melakukannya?