Versi pertama mengatakan bahwa Ronggeng Gunung diciptakan oleh Raden
Sawunggaling. Konon, ketika kerajaan Galuh dalam keadaan kacau-balau
karena serangan musuh, Sang Raja terpaksa mengungsi ke tempat yang aman
dari kejaran musuh. Dalam situasi yang demikian, datanglah seorang
penyelamat yang bernama Raden Sawunggaling.
Sebagai ungkapan terima
kasih atas jasanya yang demikian besar itu, Sang Raja menikahkan Sang
Penyelamat itu dengan putrinya (Putri Galuh). Kemudian, ketika Raden
Sawunggaling memegang tampuk pemerintahan, beliau menciptakan tarian
yang bernama Ronggeng Gunung sebagai sarana hiburan resmi di istana.
Penarinya diseleksi ketat oleh raja dan harus betul-betul mempunyai
kemampuan menari, menyanyi, dan berparas cantik, sehingga ketika itu
penari ronggeng mempunyai status terpandang di lingkungan masyarakat.
Versi kedua berkisah tentang seorang puteri yang ditinggal mati oleh
kekasihnya. Siang dan malam sang puteri meratapi terus kematian orang
yang dicintainya. Selagi sang puteri menangisi jenasah kekasihnya yang
sudah mulai membusuk, datanglah beberapa pemuda menghampirinya dengan
maksud untuk menghiburnya. Para pemuda tersebut menari mengelilingi sang
puteri sambil menutup hidung karena bau busuk mayat. Lama-kelamaan,
sang puteri pun akhirnya ikut menari dan menyanyi dengan nada
melankolis. Adegan-adegan tersebut banyak yang menjadi dasar dalam
gerakan-gerakan pada pementasan Ronggeng Gunung saat ini.
Versi ketiga yang ditulis oleh Yanti Heriyawati
dalam tesisnya yang berjudul “Doger dan Ronggeng, Dua Wajah Tari
Perempuan di Jawa Barat”. Versi ini menyatakan bahwa kesenian Ronggeng
Gunung berkait erat dengan kisah Dewi Samboja. Dewi
Samboja adalah puteri ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan
Angkalarang. Konon, suatu saat suami sang Dewi yaitu Angkalarang mati
terbunuh oleh Kalasamudra (pemimpin bajak laut dari seberang lautan).
Dewi Samboja sangat bersedih hatinya karena suami yang dicintainya telah
meninggal dunia dan ia sangat marah kepada Kalasamudra yang telah
membunuh suaminya. Untuk menghilangkan kesedihan dan sekaligus kemarahan
puterinya atas kematian Angkalarang, maka ayahandanya, yaitu Prabu
Siliwangi memberikan wangsit kepada Dewi Samboja. Isi wangsit tersebut
adalah bahwa untuk dapat membalas kematian Angkalarang dan membunuh
Kalasamudra, Dewi Samboja harus menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu
sebagai seorang penari ronggeng kembang. Dan, berdasar wangsit itulah,
Dewi Samboja mulai belajar menari ronggeng dan seni bela diri.
Singkat
cerita, pergelaran ronggeng di tempat Kalasamudra pun terjadi. Dan, ini
berarti kesempatan bagi Dewi Samboja untuk membalas kematian suaminya.
Konon, ketika sempat menari bersamanya, Dewi Samboja mewujudkan niatnya,
sehingga perkelahian pun tidak dapat dihindari. Perkelahian itu baru
berakhir ketika Dewi Samboja dapat membunuhnya.
Versi keempat mirip dengan versi ketiga, hanya jalan ceritanya yang
berbeda. Dalam versi ini perkawinan antara Dewi Siti Samboja dan Raden
Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, tidak.
direstui oleh ayahnya. Untuk itu, pasangan suami-isteri tersebut
mendirikan kerajaan di Pananjung, yaitu daerah yang kini merupakan Cagar
Alam Pananjung di obyek wisata Pangandaran
.
Suatu saat kerajaan tersebut diserang oleh para perompak yang dipimpin
oleh Kalasamudra, sehingga terjadi pertempuran.
Namun, karena
pertempuran tidak seimbang, akhirnya Raden Anggalarang gugur. Akan
tetapi, istrinya, Dewi Siti Samboja, berhasil menyelamatkan diri.dan
mengembara. Dalam pengembaraannya yang penuh dengan penderitaan, sang
Dewi akhirnya menerima wangsit agar namanya diganti menjadi Dewi
Rengganis dan menyamar sebagai ronggeng. Di tengah kepedihan hatinya
yang tidak terperikan karena ditinggal suaminya, Dewi Rengganis
berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya.
Tanpa terasa,
gunung-gunung telah didaki dan lembah-lembah dituruni. Namun, di matanya
masih terbayang bagaimana orang yang dijadikan tumpuan hidupnya telah
dibunuh para perompak dan kemudian mayatnya diarak lalu dibuang ke
Samudera Hindia. Kepedihan itu diungkapkan dalam lagu yang berjudul
“Manangis”. Berikut ini adalah syairnya.Ka mana boboko suling
Teu kadeuleu-deuleu deui
Ka mana kabogoh kuring
Teu Kadeulu datang deui
Singkat
cerita, pergelaran ronggeng akhirnya sampai di tempat Kalasamudra dan
Dewi Samboja dapat membalas kematian suaminya dengan membunuh
Kalasamudra ketika sedang menari bersama.
Cerita
mengenai asal usul tari yang digunakan untuk “balas dendam” ini membuat
Ronggeng Gunung seakan berbau maut. Konon, dahulu orang-orang Galuh
yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sarung sambil memancing
musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Oleh karena wajah mereka
tertutup sarung, maka ketika musuh mereka terpancing dan ikut ke tengah
lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk
ditikamkan.
Selain itu, dahulu kesenian Ronggeng Gunung bagi masyarakat
Ciamis selatan, bukan hanya merupakan sarana hiburan semata, tetapi juga
digunakan sebagai pengantar upacara adat seperti: panen raya,
perkawinan, khitanan, dan penerimaan tamu. Mengingat fungsinya yang
demikian, maka sebelum pertunjukan dimulai, diadakan sesajen untuk
persembahan kepada para leluhur dan roh-roh yang ada di sekitar tempat
digelarnya tarian, agar pertunjukan berjalan dengan lancar. Bentuk
sesajennya terdiri atas kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna,
pisang emas, sebuah cermin, sisir, dan sering pula ditemukan rokok
sebagai pelengkap sesaji.
Sebagai
catatan, dalam mitologi orang Sunda, Dewi Samboja atau Dewi Rengganis
hampir mirip dengan Dewi Sri Pohaci yang selalu dikaitkan dengan
kegiatan bertani. Oleh karena itu, tarian Ronggeng Gunung juga
melambangkan kegiatan Sang Dewi dalam bercocok tanam, mulai dari turun
ke sawah, menanam padi, memanen, sampai akhirnya syukuran setelah panen.
Dari Berbagai Sumber