Keputusan Susi berhenti dari bangku sekolah tahun 1982 sempat ditentang keluarganya. Tapi Susi keukuh, “Saya sempat tidak disapa oleh almarhum ayah saya selama 2 tahun, gara-gara kekecewaannya karena saya memilih berhenti sekolah waktu itu,” kenangnya. Waktu itu, ia merasa sekolahnya tak mampu mengakomodir semua yang ia butuhkan.
Tahun yang sama, Susi lalu mulai memuaskan hasrat bisnisnya. Susi berjualan bed cover, tapi dirasa tak menguntungkan, Susi lalu banting stir berjualan ikan dan lobsbter. Komditas itu tak sulit didapatkan Susi karena ia tinggal tak jauh dari Pantai Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat . Modal awal Susi didapat dari hasil menjual gelang, cincin, dan kalung emas miliknya.
Metode bisnis Susi sederhana, yakni berusaha sekeras mugnkin mengahsibkan dagangand dalam satu hari. Karena kalu tidak, ikan-ikan itu tak lagi segar. Dari awalnya Cuma mampu beli 1 kg ikan, besok 2 kg, besoknya lagi 3 kg begitu seterusnya sampai akhirnya dia menjadi pengepul. Perlu dicatat, semua produk laut yang disediakan Susi berkualitas baik dan ramah lingkungan.
Rupanya disinilah titik mula perjalanan sukses wanita beranak tiga ini. Hasil laut jualan Susi mulai mendapat banyak pesanan dari berbagai daerah seperti Cirebon, Cilacap dan Jakarta. Mengaku tipe wanta perfeksionis, Susi kerap turun ikut truk yang mengantar lobster-lobster pesanan itu.
Sejak itu Susi mendapat julukan Susi Gila dari Pangandaran, lantaran menjadi satu-satunya wanita yang sering nimbrung dalam truk sejak dari Pangandaran ke Jakarta, Cirebon, Cilacap hingga kembali ke Pangandaran.
Ekspor ke Jepang
Lobster jualan Susi terkenal dengan kualitasnya, hingga namanya mulai dikenal sebagai pebisnis lobster. Ia tahu, semakin segar ikan yang diekspornya, semakin tinggi pula harganya. Tahun 1996 berdirilah pabrik PT ASI Pudjiastuti
Menurut Susi, harga komoditas laut yang fresh sampai ke Jepang kurang dari 24 jam, bisa dua kali lipat lebih mahal. Misalnya, ikan laut yang biasanya US$ 3/kg, maka kalau tiba kurang dari sehari semalam, harganya bisa menjadi US$ 8/kg. Itu sebabnya ia tak segan-segan membeli pesawat terbang Cessna agar ikan atau udang yang diekspor bisa tiba kurang dari 24 jam.
Ia juga tahu, semakin murni ikan itu dari bahan pengawet, semakin banyak diburu penggemarnya. Maka ia pun membuat pabrik pengolahan ikan tanpa bahan kimia tahun 1996 dengan nama PT ASI Pudjiastuti. Alat pendingin yang dipakai Susi adalah Amoniak, bukan freon yang bisa merusak ozon.
Kenyang pengalaman bisnis dan hapal betul seluk beluk bisnis lobster, membawa Susi menjadi eksportir lobster terbesar ke Jepang. “Tak kurang dari 80% lobster yang ada di Jepang sekarang adalah lobster dari kami,” kata Susi.
Harga lobster Susi Pudjiastuti bahkan mendapat harga cukup tinggi dibanding harga rata-rata ikan laut segar menurut organisasi pertanian dan pangan dunia (FAO) untuk Indonesia. FAO menetapkan standar harga ikan laut segar termahal di Indonesia hanya US$ 2,5 per kilogram (kg). Sementara Lobster Susi terjual US$ 7,8/kg hampir setara dengan harga tertinggi di Australia US$ 7,8/kg.
Suami dari Christian von Strombeck, seorang insinyur aerospace berkebangsaan Jerman ini lalu mulai berikir untuk menembus para petani lobster di seluruh tanah air. “Kita memiliki kekayaan laut yang melimpah tapi belum digali secara maksimal.” ujarnya.
Bisnisnya terus berkibar, Susi sampai kewalahan memenuhi permintaan pelanggan. Saking banyaknya, tahun 2004 Susi membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan buatan Amerika Serikat untuk mengangkut hasil laut olahannya.
Satu pesawat dia gunakan digunakan untuk mengangkut hasil nelayan ke pabrik pemrosesan dan pengepakan di Pangandaran. Sedang satu lagi menerbangkannya ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Selanjutnya dikirim ke negara-negara tujuan seperti Asia, Eropa, dan Jepang serta Australia. Dalam sebulan ekspor hasil laut perusahaan Susi mencapai 60 sampai 80 ton!
Membangun Maskapai Penerbangan
Tahun 2004, ketika bencana Tsunami memporakporandakan Aceh dan sebagian Pulau Sumatera, Susi menjadi orang pertama yang datang ke sana. “Yang jadi pilot waktu itu, suami saya sendiri. Saya dan beberapa dokter, serta para jurnalis, menjadi orang-orang pertama yang mendarat di Aceh. Kami bawa obat-obatan dan makanan untuk para korban tsunami di sana,” kata Susi.
Setelah pendaratan pertamanya di Aceh, namanya mulai dikenal oleh kalangan NGO (non government organization) internasional dan para dokter yang bertugas di daerah bencana di sana. Dari awal pemberian jasa secara gratis, penumpang-penumpang yang notabene adalah para penolong korban bencana tsunami itu akhirnya memberikan komplementer kepada Susi atas jasa penerbangannya. Pengalaman ini, menjadi langkah awalnya memulai bisnis di dunia penerbangan.
PT ASI Pudhiatsuti Aviation dengan brand name Susi Air, membuka jalur penerbangan di daerah-daerah terpencil seperti, Medan-Simuleu dan Medan-Meuloaboh di Sumatera.
Tahun 2006 Susi Air dengan dua pesawat berkapasitas 12 orang menerbangkan tak kurang 17.000 penumpang. Tahun 2007 meningkat hingga 30.000 penumpang.
Kini, Susi punya 8 pesawat terbang penumpang dan kargo yang beroperasi di Jakarta, Sumatera, Balikpapan, dan Papua. Kerja kerasnya, membuahkan hasil yang tak sedikit. Namun, kepribadiannya tetap membumi.
Rahasia sukses Susi ternyata sederhana, yakni ”Just be your self! I am just like the way I am. Sometime dropp, sometime funny. If I want to cry, I’ll cry. If I don’t like something, I’ll screaming. I’ll expressed the way I wanted,” ucapnya tegas sembari menekankan ketekunan adalah harga mati menuju keberhasilan
Penulis: Yayat Suratmo